Laman

Minggu, 07 Desember 2014

enambelas

Karya : Yuniasari Megandini
16
“Kita semua mempunyai hal yang spesial dan rahasia di dunia ini.”
Aku adalah gadis yang 3 jam lagi bertambah umur menjadi 16 tahun tetapi aku rasa ada yang kurang di sisiku. Entah aku berprasangka buruk bahwa aku hanya satu di dunia ini. Sebenarnya aku ingin tahu sekali saat pertama kali aku menarik nafas yang pertama kalinya di bumi, apakah semua orang menyambutku? Atau malah sebaliknya. Aku mempunyai keluarga dan aku adalah anak satu-satunya. Ibuku pernah bercerita bahwa saat aku dilahirkan ke muka bumi ini, keluarga dari Ayahku tidak ada yang mau menengok. Aku tahu itu sangat menyedihkan, karena Ayahku ingin dijodohkan dengan perempuan lain tetapi Ayah lebih memilih Ibu karena cinta yang menyatukan mereka. Tuhan, aku tahu bahwa aku harus sabar dan lebih tabah lagi untuk menerima kenyataan bahwa aku terlahir ke dunia ini disaat suasana kelam.
            Langit begitu mendung karena tidak ada bintang yang menghiasi malam ini. Aku menunggu orang tuaku karena di malam yang dingin ini aku ingin kedua orang tuaku berada di sampingku dan menceritakan tentang masa-masa indah saat kita bersama. Kendaraan-kendaraan berasap melewati tempat ini dari tadi, entah mengapa aku hanya merasa sesak dan seperti sangat jauh dengan orang lain. Di depanku sudah ada kue besar dan lilin yang berbentuk angka 16 dihiasi lilin-lilin warna-warni di depannya.
            “Tuhan, malam ini aku ingin suatu keajaiban terjadi.” Aku mengepalkan kedua tanganku dengan penuh harap.
            Disini sangat gelap, aku bahkan tidak dapat melihat tanganku sendiri, dan aku mulai mengingat-ngingat ulang tahunku yang dahulu. Waktu aku berumur 3 tahun, aku berada di antara gedung mewah dan disanalah ulang tahunku dirayakan, pesta megah dan kue-kue besar menghiasi setiap sudut, balon-balon dan banyak badut, semua hadiah menggunung di hadapanku. Itulah potret yang kulihat dari album yang ada di dalam rumah. Yang paling membuatku bahagia adalah pasti banyak orang yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Alangkah sangat bahagianya dahulu, aku semakin ingin kembali kepada masa lalu yang penuh warna itu. Disaat kedua orang tuaku selalu ada disisiku untuk menjaga putri kecilnya dan itu terasa sangat manis sekali bagaikan kue keju panggang yang baru saja di keluarkan dari oven.
            Disaat ulang tahunku yang ke-4 dan ke-5, pesta itu menghilang tetapi masih banyak kue walaupun tak sebesar yang dahulu, tidak ada hadiah atau pun badut, hanya ada orang tuaku dan semua sanak saudara disampingku. Aku masih tertawa karena banyak sekali orang disampingku, masih ada kehangatan disaat kita bersama. Tetapi disaat usiaku yang menginjak ke-8 tahun semua itu berubah, tidak ada lagi pesta, bahkan tidak ada lagi ucapan dari sanak saudara, yang ada hanya keluarga dan satu kue untuk menghiasi umurku yang bertambah ini, aku sering diberi uang saku lebih dan itu aku pakai untuk makan teman-temanku, itulah kebiasaan yang sering aku lakukan, walaupun tidak banyak dan tidak mewah tetapi ucapan dari keluarga dan orang-orang yang ada disekitarku sangatlah berharga.
            Tiba-tiba suasana bertambah sangat dingin, aku dengar bunyi hujan dari luar jendela rumahku. Tetapi entah mengapa aku merasakan tubuhku juga  mendingin seperti terkena air. Malam ini benar-benar terasa sangat panjang karena detik-detik berjalan dengan begitu lemah. Aku sangat ingin melihat bintang tapi malam ini sangatlah kelam.
            “Ah, aku terhenti untuk bernuansa ke dalam masa lakuku lagi. Tapi mengapa sampai sekarang Ibu dan Ayah belum datang juga yah? Padahal ini hampir tengah malam.”
            Untuk mengulur waktu, aku juga ingin bercerita tentang ulang tahunku yang ke-14 tahun, disaat itu aku mempunyai teman yang sangat banyak dan mereka semua sering mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku dan tidak lupa orang tuaku yang sering mengucapkannya pagi-pagi sekali. Aku tahu orang tuaku sering sekali sibuk sehingga ayahku terkadang lupa akan ulang tahun putrinya sendiri tetapi Ibu selalu mengingat ulang tahunku dan Ibu sering meluangkan waktunya untuk membuatkan masakan atau pun kue bolu, padahal aku tidak memerlukan semua itu, bagiku bersama dengan kedua orang tuaku itu sudah cukup. Tetapi Ayah sering sekali tidak ada di hari ulang tahunku, aku sering merasa iri kepada teman-temanku yang lengkap keluarganya jika mereka berulang tahun, yang aku butuhkan bukanlah sebuah hadiah namun sebuah kebersamaan.
            Hujan nampaknya semakin reda dan angin malam pun mulai terdengar di telingaku, angin-angin itu seperti sedang berbisik dan berlomba-lomba ada di dekatku. Malam semakin terasa sangat menusuk untuk membawaku kembali ke masa lalu. Di ulang tahunku yang ke-15 aku semakin jauh dengan keluargaku bahkan dengan orang-orang yang aku kenal, tetapi kedua orang tuaku mengucapkan selamat ulang tahun lewat telefon genggam. Aku harus mengerti betapa sulit keadaan ini dan sebenarnya aku semakin merasa sepi, karena hanya dalam jangka waktu 1 tahun semua kejadian bisa berubah begitu saja dan aku semakin terpisah dengan kedua orang tuaku. Itulah yang membuatku berharap agar kedua orang tuaku berada di sampingku untuk malam ini,disaat umurku bertambah.
            “Tuhan, bolehkan aku berharap? Seperti gadis korek api yang dimana saat ia menyalakan sebatang korek, permintaannya akan terkabul. Bisakah itu terjadi Tuhan? Aku butuh keluargaku di malamini.”
            Aku pun mengambil korek dan mulai menyalakan lilin-lilin yang berada di atas kue ulang tahunku dan air mataku pun menetes lalu aku tertawa dengan lirih.
“Tuhan. Lihat! Aku yang coba menghibur diriku sendiri dari tadi. Aku telah membohongi diriku sendiri! Aku tak bisa melihat! Aku tidak tinggal di dalam rumah! Aku tidak mempunyai kue ulang tahun! Aku tidak memunyai sebatang lilin ulang tahun atau pun lilin biasa. Dan yang paling menyedihkan orang tuaku telah meninggal setahun yang lalu karena disaat aku dan keluargaku pergi untuk menghabiskan waktu bersama, ternyata mobil kami jatuh ke jurang dan hanya aku yang selamat tetapi aku sekarang tak bisa melihat!”
“Tuhan, aku tahu sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi. Tapi bisakah kedua orang tuaku ada disini? Satu menit saja itu sudah cukup. Aku butuh mereka untuk menjadi mataku, aku butuh mereka untuk menyejukkan jiwaku, aku butuh mereka untuk menjadi mataku walaupun hanya semenit saja. Apakah itu sulit?”
Air mataku  terjatuh dan aku tidak tahan. Di jalanan yang ramai ini, aku hanya berada di pojok jalan tanpa bermandikan cahaya lampu, aku kehujanan, aku kedinginan di bawah selimut malam, aku begitu lapar dan aku tak mempunyai siapa-siapa. Aku tak bisa melihat bintang karena aku buta, aku tidak bisa melihat kedua tangan yang aku miliki karena aku buta. Inilah kisahku yang nyata. Entah mengapa air mata ini tak ada habisnya untuk mengalir walaupun mega telah berhenti menangis namun air mataku ini tetap mengalir.
“Aku harus tegar kan Tuhan? Ini memang sangat menyedihkan, di umurku yang ke-16 ini aku hanya ada satu permintaan. Suatu saat nanti tolong pertemukan aku dengan kedua ornag tuaku, agar aku bisa meluapkan semua rindu dan duka yang telah kupendam begitu lama. Walaupun aku tidak bisa melihat namun aku masih bisa merasakan bahwa masih ada kehidupan walaupun aku terasingkan di dalamnya.”
Itulah kisah menjelang ulang tahunku yang ke-16. Hidup itu kadang manis dan kadang juga terasa pahit. Aku yakin suatu saat nanti aku akan menemukan manisnya hidup lagi, seperti dulu yang pernah kurasakan walaupun tanpa keluarga disisiku tapi aku bisa merasakan keluargaku ada disini. Sama halnya waktu aku pertama kali menghirup nafas di bumi sampai pada suatu saat aku menemukan kehidupan baru di dunia ini.
“Aku yakin Tuhan, suatu saat nanti aku akan menemukan sebuah kehidupan di alam yang abadi dan bahagia di dalam masanya, dimana aku akan bisa melihat dan keluargaku ada disampingku untuk tersenyum bersama. Aku percaya , Tuhan.”

Kisah 16 tahun seorang gadis yang kedinginan dipinggir jalan. Inilah kisahku. Orang-orang selalu bertanya, bagaimana aku bisa bertahan hidup di dunia yang telah mengambil semua kebahagiaanku. Tapi aku tidak berfikir bahwa dunia ini kejam, aku tidak pernah berfikir bahwa Tuhan telah mengambil semua kebahagiaanku. Karena aku masih memiliki hati untuk tetap berperasaan dan bertahan hidup, aku masih memiliki kedua tangan yang bisa aku pakai untuk meraba-raba, aku masih memiliki kedua kaki yang selalu membantuku untuk berjalan, aku masih memiliki kedua telinga yang aku gunakan untuk mendengar,  aku masih memiliki akal fikiran yang selalu aku gunakan untuk mengingat semua potret yang pernah aku lihat dulu dengan kedua bola mataku dan yang paling penting aku masih memiliki Tuhan yang selalu menuntun dan melihatku.