Laman

Minggu, 29 Maret 2015

Baca, mungkin suatu pertanda

Masih di hari yang sama. Setelah bermain dan dipuaskan oleh kemenangan tiba-tiba aku teringat akan buku. Aku senang membaca, apalagi aku sangat mengagumi sosok 'Khadijah' tapi nampaknya kamu telah lupa akan sesuatu karena disibukkan oleh duniamu dan orang lain. Padahal aku teringat dengan sebuah surat yang aku beri untukmu, ternyata tidak dipertanyakan. Itu artinya kamu memang tidak peduli. Aku dan diriku kini begitu yakin, aku tidak sakit dan menyesal justru aku bersyukur karena aku semakin teringat akan sebuah ilham
"Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan, supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-Nya" (Imam Syafi'i)
Aku tidak menyesal saat itu bahkan aku bisa bernafas lega. Tetapi langkahmu tegap menyapa bayanganku dalam ruangan yang ramai itu. Aku lihat tanganmu mencoba meraih sesuatu dari tas yang biasanya kau bawa, ternyata itu adalah sebuah buku berjudul 'Aisyah' dengan cover buku berwarna hijau, memberikan ketenangan seperti sosok Aisyah yang sering aku bayangkan. Ternyata kamu ingat akan buku itu, jujur saja aku merasa senang namun aku hanya berani diam dan hatiku perlahan tersenyum sabit.
"Kenapa aku tidak bisa mengerti sama sekali isi buku ini?" Kamu mengeluh seperti memang sulit dibaca lalu aku pertegas langkah mengampiri dirimu yang menggenggam buku hijau itu dengan kedua tanganmu.
"Mana sini aku lihat." Aku bacasatu persatu kata hingga kalimat dan akhirnya paragraf, namun aku tidak sebingung dirimu, mugkin kamu tidak begitu menyukai buku dan tulisan sehingga memandang ini berat.
"Mau coba baca? Ini." Dengan ringan kamu berikan buku itu kepada diriku dan tentu saja aku siap membaca karena aku penasaran.
Mata ini memfokuskan pandangan kepada sebuah buku, namun bukannya dibuat bingung, aku malah tergores hatinya oleh beberapa kalimat di dalam buku ini, entah mengapa saat aku tahu Aisyah adalah cinta terakhir dan istri dunia akhirat Rasulullah SAW, hatiku merasa sakit, bukan karena aku tidak terima namun aku tidak begitu mengerti karena selama ini aku hanya mencoba menggali cinta Nabi Muhammad bersama Khadijah. Aku memang begitu menyukai sosok Khadijah, cinta sejati Rasulullah SAW. Namun mengapa Aisyah yang menjadi istri dunia akhirat? Aku tahu begitu cerdas sosok Aisyah, atau mungkin hatiku ini memiliki emosi yang keterlaluan? Astagfirullah aku harus berusaha menetralkan dan menghapuskan rasa sakit ini, padahal aku bukanlah Khadijah tapi perasaan ini terlalu berlebih seolah-olah aku adalah Khadijah, aku takut perasaan ini akan menjadi dosa. Aku mencoba mencari teman diskusi, tapi kamu tertidur pulas di kursi yang tepat berada 6 langkah dari tempat dudukku. Padahal aku ingin bercerita walaupun aku tahu kamu akan berfikir bahwa aku berlebih atau apa itu namun aku perlu diskusikan buku ini dan perasaan apa yang aku dapat. Bukan aku tidak menghormati sosok Aisyah yang cerdas bahkan ia bisa menghafal ribuan hadits. Aku sepertinya belum benar-benar mengerti tentang kisah ini. Seperti orang kebingungan saja namun aku bertekad terus membaca, selagi menunggu kamu terbangun. Beberapa belas menit kemudian kamu memang terbangun dari tidur dan aku mengisyaratkan sesuatu, berharap kamu bisa mengerti bahwa ada hal yang ingin aku tanyakan dan ungkapkan.
"Lelah sekali, baru sebentar tertidur"
"Kak, ada yang janggal di buku ini.. Bukan, mungkin saja ini hanya aku yang berlebihan"
"Ada apa?"
"Kenapa yah ada perasaan sakit.. Bukan, maksudku di buku ini tertulis Aisyah adalah cinta terakhir Nabi Muhammad, lalu Khadijah adalah Cinta Sejati Nabi Muhammad, tapi mengapa di buku ini kesannya melebih-lebihkan Aisyah? Maksud aku, bukan hadits yang salah namun opini yang ditulis oleh penulis, atau mungkin ada hal yang belum aku paham?" Mukamu terlihat bingung dengan semua narasi pertanyaan yang aku ungkapkan.
"Nanti yah kakak coba cari buku dengan penulis lain, sudah jangan terlalu difikirkan"
Mungkin memang benar aku terlalu berlebihan tetapi aku begitu memikirkannya.
"Shalat yu?"
"Iya kak"
Dengan langkah yang cepat aku melangkahkan kaki ke masjid bersama seorang laki-laki dan kerap kali dia memandangku bingung.
"Sudahlah, jangan terlalu difikirkan"
"Iya kak"
Sebenarnya aku berharap mendapat Ilham tentang perasaan dan sejuta pertanyaan difikiranku setelah shalat ashar namun setidaknya aku dapati tenang di dalam jiwaku dan teduh atas fikiranku. Aku masih ragu untuk melanjutkan membaca buku hijau yang menorehkan kisah wanita hebat bernama 'Aisyah', aku takut perasaan bingung ini bangkit lagi.
Laki-laki itu menghilang sampai adzan maghrib berkumandangan, sementara aku memulai rapat seperti biasanya, menyelsaikan tanggungjawab dan kewajibanku satu persatu. Selesai ibadah shalat maghrib, laki-laki itu muncul kembali dan aku langsung bergegas pulang. Langkahku menjauhi gedung yang dipenuhi keramaian orang-orang, tetapi perasaan ini seperti ingin kembali kesana dan memaksa aku untuk memutar balik arah langkah kakiku dan benar saja.
"Hei"
"Iya kak"
"Mau kemana?"
"Pulang.."
"Hayu bareng"
"Apa?" Aku entah ingin menolak atau tidak tapi di jika bukan dengan dia, aku akan pulang dengan siapa lagi? Sedangkan hari sudah semakin malam.
"Yuk, motor kakak masih di parkiran atas"
"I.. Iya"
Akhirnya empat kaki berjalan bersama dengan semu bayang malam yang ditemani remang cahaya lampu lingkungan kampus, lalu aku nyalakan senter dari HPku, Laki-laki ini mengikuti tingkah lakuku dengan menyalakan dan menunjukan bahwa ia punya senter juga di HPnya namun itu membuatku tertawa kecil
"Masih kefikiran bukunya?"
"Masih hehe"
Benar ternyata aku mencoba membuka pintu hati ini sedikit demi sedikit, mungkin saja laki-laki ini adalah cobaan yang menguji samapai dimana kesungguhan dan imanku. Laki-laki yang kerap kali aku hormati karena ilmu dan sikapnya yang sopan.
"Udah makan?"
"Belum kak, justru tadi tuh mau jalan kaki gara-gara mau makan"
"Kemarin kan kamu sakit, harusnya kamu makan dulu. Kakak udah makan, jadi ga bisa nemenin kamu"
"Lho? Siapa yang minta ditemani?"
"Kan biasanya kamu ditemani sama temen kakak makannya"
"Kan temen kakak yang mau nemenin juga"
"Tadi kakak udah makan dan kenyan banget, bawa bekel dari rumah"
Aku kadang kebingungan dengan sikap dan tingkah laku dia yang entah memberikan arti atau tidak. Yang jelas aku bahagia walau aku bertanya-tanya karena biasanya dia tidak pulang sepagi ini, maklum saja dia seorang aktivis kampus seperti diriku.
"Kapan-kapan ajah yah kita makan barengnya" Aku terkejut karena aku laparnya hari ini mengapa harus makan bersama laki-laki ini jika esok atau lusa atau minggu depan aku lapar. Lalu dia berhenti di depan tempat tinggalku.
"Jangan kemana-mana, kapan-kapan ajah yah"
Aku kebingungan dan berterima kasih saja, lalu kendaraan itu pergi bersama pengendaranya yang arahnya sempat membingungkan. Aku banyak menerka-nerka namun diselangi perasaan senang akan buku bewarna hijau yang ia pinjamkan. Malam yang pajang itu aku gunakan untuk istirahat, setelah sekian lama aku menyibukkan diri dengan menyelsaikan tugasku satu persatu.
***********
Esok pagi aku terbangun ditemani dengan dinginnya udara dipagi hari. Seperti biasanya, aku memeriksa HP dan membuka sosial media, sebuah kenyataan yang menyakitkan di pagi itu. Ternyata kamu pergi malam itu, menghabiskan waktu bersama yang lainnya dan di dalam gambar itu terlihat jelas kamu berada terus di samping seorang wanita, dia temanku.
'Mengapa sakit yah? Padahal kemarin aku sudah yakin namun sempat diguncangkan lalu....'
Sedikit sekali aku mengambil kesimpulan bahwa aku memang sedang dicoba, jangan sampai terulang kejadian yang sama, setidaknya aku lebih menaruh batas, bertindak profesional dan bismillah...
Mungkin buku itu suatu pertanda :)
"Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan, supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-Nya" (Imam Syafi'i)

Congklak

Hari yang panjang, aku masih menunggu disuatu ruangan. Ruangan yang selalu penuh dengan agenda padat. Bandung yang nyaman karena setiap hari ditemani hujan. Kali ini aku mulai berkaca menatap kedua bola mataku yang sudah berhari-hari hanya sebentar terpejam. Ditengah lantunan adzan yang berkumandang di hari Jum'at, aku siapkan diri mencoba menebang seluruh bayangmu dan mencabutnya sampai ke akar fikiranku. 'Harusnya aku bisa lebih fokus lagi berada dalam rutinitas ini' kerap kali aku berbicara seperti itu di dalam hati. Pikiranku tiba-tiba berubah fokus saat aku bisa memainkan sebuah mainan sederhana yang sering aku mainankan dari dulu dengan Ibu dan adik-adikku. Semangat anak kecil masih membara di dalam diriku, biasanya aku selalu menjadi pemenang dalam permainan ini, "Congklak". Aku pastikan aku masih hafal benar taktiknya. Ditemani dengan teman-teman yang ada di ruangan itu. Satu persatu aku kalahkan mereka, dibayar ingatan ini dengan rasa kepuasan atas kemenangan.
"Aku adalah ratu di dalam permainan ini! haha" itulah kata-kata yang dapat aku ekspresikan melihat mereka berfikir bagaimana cara mengalahkanku. Padahal ini semua hanyalah taktik yang aku ingat, dan ingatan inilah yang membantuku. Jiwa kekanak-kanakan yang masih ada di dalam diriku, aku biarkan itu tumbuh dan hari ini menjelma. Sampai disuatu sudut aku melihatmu memandang beberapa kali. 'Abaikan saja, jangan ganggu dia' aku mencoba bermain lagi sampai semua teman-teman kehabisan langkah.
"Boleh ikut main?"
Laki-laki ini menghampiriku lagi, 'sebenarnya apa yang benar-benar dia inginkan?'
"Boleh, silahkan" setidaknya bersikap profesional adalah yang bisa aku lakukan saat ini.
"Kakak lupa-lupa ingat memainkan ini." Dia jeli memperhatikan tanganku dan perkataan yang keluar dari mulutku, mungkin dia benar-benar lupa.
"Apa kakak sudah pernah memainkannya?"
"Sudah, tapi lupa haha" sekali lagi aku masih bisa berkonsentrasi dan menunduk, mencoba fokus kepada mainan anak kecil ini.
Wajahnya benar-benar kebingungan dan berulang kali ia mencoba secepat diriku. Sesekali menembak dan sesekali terjatuh, permainan anak kecil memang memberikan emosi yang kuat atau mungkin hanya aku yang merasa seperti ini. Aku benar-benar senang, entah senang karena bisa memenangkan permainan atau senang karena aku bisa bermain dengan dia. Laki-laki yang sudah berulang kali kalah dalam permainan "Congklak" melawan wanita sepertiku
'Sepertinya labirin di dalam hatiku sedikit terbuka lagi'

Sabtu, 07 Maret 2015

Kisah Bimasakti: Kelahiran Xena

Aku adalah sebuah planet baru, planet yang belum lama diketahui mengorbit dan berotasi di Bimasakti. Tidak banyak yang menyadari keberadaanku, kecuali mereka yang memang tergila-gila pada langit dan isinya. Aku hanyalah sebuah bagian kecil dari Bimasakti, yang berada di orbit paling luar, terlihat bagai partikel debu di luasnya Bimasakti.
Suasana di galaksi ini tidak begitu asing, aku memang dilahirkan di sebuah galaksi yang begitu tersohor. Sebuah galaksi yang penuh gemerlap, sebuah galaksi yang memuat kehidupan. Warna setiap partikel yang ada ditubuhku adalah biru, karena disetiap zat yang ada ditubuhku ini adalah air seperti layakya Neptunus dan Uranus.
Aku menikmati rotasi demi rotasi yang terjadi, revolusi demi revolusi. Aku melihat begitu banyak planet lain di sini, terusun, berputar didalam sebuah orbit dengan Sang Surya sebagai pusatnya. Semua berjalan normal, tidak ada yang istimewa, hingga saat itu tiba, saat ketika aku berpapasan dengan Venus, dewi diantara para planet, dewi yang dikagumi oleh seluruh isi Bimasakti.
Pengalaman itu begitu membekas. Aku begitu lama mengamatinya, mengintip dibalik  raga para planet lain, planet yang jauh lebih dekat dengannya, planet yang memiliki kedekatan lebih awal dengannya.  Suaranya begitu jelas terdengar, merdu, setiap baris kata yang terucap selalu memiliki makna yang menarik untuk digali, kata-kata yang menjadi candu bagiku untuk selalu mendengarnya. Tanpa terasa, aku telah jatuh  kepadanya. Sebuah planet yang memiliki cahaya putih, revolusi yang begitu cepat begitu memukau seisi Bimasakti.
Gila memang, aku mengagumi sosok Venus yang begitu sempurna, sosok Venus yang telah mampu membuat Sang Surya takluk dihadapannya, yang mampu membuat Saturnus dan Uranus saling berebut berada lebih dekat dengannya.
Venus, aku kini begitu memujanya. Kadang bahkan dengan nekatnya aku mencoba memasuki  orbitnya. Bodoh memang, sebuah planet antah berantah sepertiku mencoba memasuki orbitnya yang bahkan tak dapat ditembus oleh Yupiter, Uranus, Saturnus bahkan Sang Surya. Aku telah larut dalam sebuah kekaguman yang membodohkan, kekaguman yang mebutakan, kekaguman yang merambat perlahan menuju inti.
Begitu sering aku memaksa mendekat, mencoba untuk berbicara, hingga akhirnya Venus bersedia memberikan sedikit waktunya. Memberikan sedikit waktu untuk dihabiskan dengan aku, sang planet kecil yang bahkan tidak bernama begitu indah. Menghabiskan sedikit waktunya untuk membahas kisah – kisah hidupnya yang aku lewatkan. Memberikan sedikit waktu, yang ternyata menjadi sebuah awal dari sebuah kisah yang entah akan jadi seberapa panjang.
Siapa sangka, planet seanggun Venus ternyata menyimpan kisah yang begitu memilukan, kisah mengenai perjuangan serta pengorbanan yang dibalas dengan pengkhianatan. Kisah yang memberikan pelajaran tentang kerelaan, kesabaran, keikhlasan dan kepedulian. Aku mematung, aku membatu ketika ia berbicara tentang Sirius. Sirius adalah bintang yang paling bersinar di jagad raya bahkan cahaya birunya begitu indah tetapi ia memang sudah memiliki sosok bintang lain yang ditakdirkan oleh langit yaitu Vega. Ternyata hati Sang Dewi tidak akan bisa diketuk begitu mudah, begitulah yang meteor ceritakan ketika melihat Sang Dewi dari kejauhan. Aku merasa semakin menciut, perlahan ingin kutarik diriku dari dekatnya lalu menghilang, aku merasa tak sebanding dengannya. Dengan kisahnya. Hanya saja inti ini ternyata masih menolak. Tidak ada tenagaku yang sanggup menjauh dari sinar putihnya, bahkan menolak bayangnya pun aku tidak bisa. Lalu aku bertekad untuk melanjutkan kisah ini, sampai dimana ia berhenti akan aku ikuti alurnya. Biar langit memperhatikan, walau aku tidak merasa pantas, walau aku lebih takut tidak terbalas namun perasaan ini memaksa dan mengakar untuk melanjutkan kisah ini, kisah yang entah akhirnya seperti apa.
Venus memang berbeda, dia memiliki keanggunan dan keteguhan layaknya seorang putri. Dia adalah sosok yang menarik, bodohnya Sirius yang kalut dalam ego hingga melepaskan Venus.


(Sebuah karya kolaborasi dari Bimasaki)